Media Massa – Tok! Di penghujung 2022 kemarin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan baru terkait perbankan, yaitu, POJK Nomor 27 Tahun 2022. POJK ini adalah perubahan kedua dari POJK Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Umum.
POJK 27/2022 ini sudah berlaku sejak 28 Desember 2022. Salah satu poin perubahannya yaitu soal teknis perhitungan ATMR atau Aset Tertimbang Menurut Risiko.
Mungkin sebagian dari Anda ada yang bertanya-tanya soal dua ‘makhluk’ ini, KPMM dan ATMR. Tapi bagi yang berkarir di industri keuangan dan perbankan sudah tentu akrab dengan istilah tersebut. Jadi, mari kita senggol tipis-tipis tentang keduanya sebelum masuk ke peraturan baru OJK tadi.
Praktisi perbankan Abiwodo mengatakan, seperti namanya, ATMR adalah jumlah aset sebuah bank berdasarkan profil risikonya. Kalau si bank punya aset Rp100 triliun, bisa jadi ATMRnya cuma Rp50 triliun. Kok bisa? Ya, karena belum tentu semua asetnya berisiko, seperti risiko kredit, risiko pasar, atau risiko operasional.
“Ambil misal kalau aset si bank adalah utang atau obligasi pemerintah sebesar Rp1 triliun. Karena negara sudah pasti akan melunasinya, maka ATMRnya 0 (nol). Tidak ada risiko di aset tersebut,” papar Abiwodo.
Jika aset si bank adalah pinjaman individu atau korporasi, lantas berpotensi kredit macet dan berisiko tinggi, maka OJK bisa menetapkan kalau aset tersebut ATMRnya 100% dari nilainya. Penurunan nilai asetnya sudah pasti sangat besar.
Detail perhitungan ATMR ini ada dalam peraturan OJK, termasuk analisa risiko dari masing-masing aset si bank. Dengan begitu, negara bisa memantau seberapa besar eksposur risiko suatu bank atas penyaluran kreditnya atau pembelian aset keuangan lainnya.
Kalau begitu, bank yang asetnya besar boleh jadi ATMRnya lebih kecil daripada bank yang jumlah asetnya lebih kecil? Ya, betul!
Terus, apa kaitannya dengan KPMM? Jelas sangat terkait. ATMR ini sudah pasti menjadi acuan kemampuan finansial atau permodalan si bank.
Seperti umumnya perusahaan, modal itu semacam penyangga atau ‘buffer’ dari kemungkinan kerugian si bank. Kalau modalnya tidak cukup, banknya bisa bangkrut.
Ini dia yang mengkhawatirkan. Bangkrutnya sebuah bank bisa berdampak besar bagi stabilitas industri keuangan, karena bank punya kewajiban kepada nasabah deposan, juga terkait dengan pelaku di sektor keuangan maupun sektor riil.
Sebab itulah OJK menetapkan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum atau KPMM tadi, yang bahasa kerennya dikenal dengan istilah Capital Adequacy Ratio atau CAR. Nah, penetapan CAR inilah yang relatif terhadap ATMR tadi.
Jumlah modal minimum itu biasanya antara 8% – 14%, tergantung peringkat profil risiko si bank. Angka tersebut diartikan sebagai persentase buffer dari aset berisikonya (ATMR).
Peraturan Baru POJK No.27/2022
Dalam peraturan barunya ini, OJK menetapkan soal kewajiban perhitungan ATMR yang merujuk pada standar internasional ‘Basel III’.
Fyi, Basel III adalah reformasi pengaturan pada sektor perbankan sebagai respon krisis keuangan dunia pada 2008. Saat itu perbankan ambruk, kurangnya kecukupan modal, tingginya variasi ATMR antarbank, leverage yang sangat tinggi dan liquidity crunch.
Basel III ini disepakati secara global pada 2010 untuk memperkuat regulasi, pengawasan, dan manajemen risiko, terutama risiko sistemik.
Standar ini menyaratkan modal minimum bank atau CAR adalah 8% dari ATMR. Dan, terhitung mulai 1 Januari 2024 Perbankan wajib melakukan perhitungan ATMR risiko pasar sesuai standar tersebut.
Ihwal komponen modal, tidak ada yang berubah dari peraturan OJK sebelumnya. Bank harus punya Modal Inti dan Modal Pelengkap.
Modal inti itu seperti modal disetor pemegang saham, agio, laba ditahan, dan lain-lain. Termasuk ekuitas dalam bentuk saham preferens, atau obligasi subordinasi perpetual, yang tidak ada jatuh temponya.
Sementara modal pelengkap berasal dari penerbitan obligasi subordinasi dengan jangka waktu minimal tertentu.
Selain itu, dalam upaya mendukung pasar keuangan, bank dituntut untuk bisa menerapkan standar internasional seperti ‘capital requirements for bank exposures to central counterparties’ dan ‘margin requirements for non-centrally cleared derivatives’.
Standar ini bertujuan untuk mengurangi risiko sistemik yang muncul di pasar keuangan. Bank didorong untuk dapat melakukan transaksi melalui lembaga central counterparty.
Ketahanan perbankan
Dunia tampaknya masih akan terus berkencan dengan krisis keuangan dan perbankan. Langkah OJK menerbitkan POJK No.27/2022 ini bak sinyal kewaspadaan.
“Industri perbankan seharusnya menyambut baik aturan baru ini. Sebab, selain menjaga kestabilan sistem keuangan, instrumen hukum ini bisa mencegah kebangkrutan bank akibat risiko sistemik,” imbuh Abiwodo.
Abiwodo dalam keterangannya juga menyampaikan, apalagi peraturan ini menyoal pengungkapan kondisi bank yang sesungguhnya. Ini soal transparansi, seberapa besar keterbukaan bank dalam mengungkapkan kondisi yang dihadapinya.
Dengan begitu negara pun bisa mengetahui lebih dini jika ada permasalahan keuangan masing-masing bank, dan segera mengatasinya sebelum persoalannya melebar.
Lagi pula perhitungan ATMR dengan standar internasional ini bisa memberikan dampak positif, terutama dalam hal penguatan pencadangan dan permodalan bank. Risiko operasional pun bisa termitigasi lebih optimal.
“Meski stabilitas keuangan Indonesia masih cukup baik, tapi ketahanan perbankan tetap harus dicermati dan dijaga. Yang terpenting, pengelolaan risiko harus menjadi budaya di lingkungan perbankan,” tutup Abiwodo.