Media Massa – Peluang perbankan kolaborasi dengan teknologi finansial (fintech) dinilai menguat saat ini. Kolaborasi tersebut tentu saja memberikan dampak positif terhadap perbankan untuk memberikan akses yang lebih luas. Tak sedikit yang menganggap bahwa kolaborasi ini mampu menguatkan ketahanan perbankan dengan baik.
Saat ini, ramai membicarakan peluang kolaborasi dengan fintech. Lihat saja, proporsi sumber pembiayaan fintech dari perbankan sebesar 46% pada Oktober 2022, naik 44% pada bulan sebelumnya.
Kolaborasi yang diberlakukan oleh pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersebut hasilnya semakin baik, tentu saja harus terus dikembangkan. Hal ini sesuai dengan pendapat IFSOC (Indonesia Fintech Society) yang tak hanya berpendapat mengenai pengembangan kolaborasi saja, tetapi juga penyaluran dana. Sesuai dengan penjelasannya, penerima pembiayaan fintech ada 18,7 juta dimana 4,5 juta juga termasuk UMKM. Ya! UMKM naik kelas sudah di depan mata.
Perbankan memiliki kewajiban dalam menyalurkan pembiayaan yang berguna sebagai modal UMKM sedikitnya 20% pada tahun 2022 dan sedikitnya 25% pada tahun 2023 mendatang.
Abiwodo sebagai praktisi perbankan mengatakan, dengan adanya peluang kolaborasi antara perbankan dan fintech, maka bisa meningkatkan digitalisasi UMKM. Hal ini karena penyaluran dananya bisa berfokus pada usaha mikro. Dengan begitu, pengembangan UMKM khususnya digitalisasi UMKM bisa meningkat.
Bukan hanya itu saja, IFSOC juga memberikan apresiasinya kepada pemerintah dan OJK karena membuat peraturan untuk memudahkan sinergi perbankan dan fintech (UU P2SK dan POJK No. 22 Tahun 2022) yang tentunya memperluas peluang kolaborasi sehingga penetrasi layanan keuangan ke semua lapisan masyarakat juga bisa meningkat.
Peran POJK No. 22 Tahun 2022
Tak kalah penting, POJK No. 22 Tahun 2022 (POJK 22/2022) mengatur kegiatan penyertaan modal yang dilakukan oleh bank umum. Dalam peraturan tersebut, ada pihak yang berperan sebagai penerima penyertaan (investee) dari bank. Investee pada dasarnya bisa berupa perusahaan yang ada di bidang keuangan.
Perusahaan ini memanfaatkan teknologi informasi dalam menciptakan produk keuangan sebagai usaha utamanya. Peluang penyertaan modal sampai dengan 35% dari kolaborasi perbankan bisa tersalurkan ke fintech yang meliputi agregator, payment, hingga peer to peer lending (P2P).
Kegiatan penyertaan modal yang diatur dalam POJK 22/2022 ini memiliki tujuan penting, mulai dari meningkatkan ketahanan, efisiensi perbankan nasional, dan daya saing. Tujuan ini bisa tercapai dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian.
Selain itu, menurut Abiwodo tujuannya bisa lebih tercapai apabila adanya penyempurnaan ketentuan POJK 22/2022 tentang penegasan ruang lingkup perusahaan yang fokus dalam bidang keuangan. Perusahaan tersebut bisa jadi investee bank berdasarkan perkembangan ekosistem digital terupdate.
Lainnya, yaitu adanya perluasan ruang lingkup kegiatan penyertaan modal oleh Perusahaan Anak Bank. Disamping itu, perluasan relaksasi dalam syarat tingkat kesehatan pada penyertaan modal juga bisa ditambahkan. Ihwal tersebut, tentunya harus seimbang dengan peningkatan kualitas pengaplikasian manajemen risiko.
Apabila tujuannya tercapai dengan baik, bisa mendorong peluang kolaborasi industri perbankan dengan ekosistem digital fintech di lingkup keuangan. Bahkan juga memperluas kesempatan kolaborasi antara industri perbankan (underbanked) dan industri non-perbankan (unbanked). Hal inilah yang membuat POJK 22/2022 ramai diperbincangkan.
RUU P2SK sudah resmi jadi undang-undang (UU) sejak pertengahan bulan Desember 2022. Disahkannya UU tersebut tentu saja bukan tanpa alasan, dengan adanya UU P2SK harapannya bisa membangun ekonomi Indonesia lebih kokoh, dinamis, berdaya saing, dan berkeadilan.
Selain itu, dampak kehadiran UU P2SK dapat mendongkrak inklusi, literasi, dan inovasi sekaligus menguatkan jumlah dan kualitas SDM di sektor keuangan berkembang. Ruang lingkup UU tersebut mengatur berbagai ekosistem sektor keuangan. Mulai dari independensi Bank Indonesia, Rupiah digital, program penjaminan polis, pengawasan aset kripto, sampai dengan kegiatan usaha bullion (bank emas). Dengan ruang lingkup tersebut, maka ketahanan perbankan bisa menguat secara baik dan optimal termasuk meningkatkan peluang kolaborasi perbankan dengan fintech, begitu Abiwodo menyampaikan.
Menyempurnakan peraturan sebelumnya yang dirasa sudah berusia cukup lama, UU terbaru lebih menyesuaikan dinamika perubahan era dan teknologi untuk meningkatkan peluang perbankan kolaborasi dengan fintech. Dalam UU ini berisi 27 BAB lengkap dengan 341 pasal, salah satunya Pasal 213.
Menakar Pasal 213 UU P2SK
Dalam UU P2SK sebagai Omnibus Law di sektor keuangan, pasal ini membahas mengenai inovasi teknologi. Berbicara mengenai Pasal 213, nyatanya juga berkaitan dengan aset kripto dalam ruang lingkup ITSK (Inovasi Teknologi Sektor Keuangan).
Terkait hal tersebut, transaksi kripto sudah mendapatkan kesepakatan pemindahan pengawasan seputar aset keuangan digital ke OJK. Dengan adanya kesepakatan ini, maka bisa terjadi peningkatan pengaturan dan pengawasan terhadap aset keuangan digital.
Sektor perlindungan investor ataupun konsumen pun bisa lebih kuat. Tak bisa kita pungkiri bahwa langkah OJK dalam mengawasi aset kripto berdampak baik terhadap sektor keuangan.
“Hemat saya, peluang perbankan kolaborasi dengan fintech mampu menguatkan ketahanan perbankan yang bisa jadi salah satu cara terbaik dalam menghadapi ancaman resesi ekonomi tahun 2023 sektor keuangan dan perbankan,” tutur Abiwodo.
Kalo sudah begini, peluang peningkatan kolaborasi perbankan bersama fintech dapat memberikan akses perbankan yang lebih luas serta mendorong layanan perbankan dan jasa keuangan lebih transparan demi memajukan masyarakat sehingga melecutkan ketahanan perbankan menjadi keniscayaan.(*)