Mediamassa.co.id - Sistem komunikasi massa di Indonesia merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan demokrasi dan kehidupan masyarakat modern. Melalui media massa, informasi dapat menyebar dengan cepat, opini publik terbentuk, dan suara masyarakat dapat disalurkan. Namun, dinamika yang terjadi dalam sistem komunikasi massa Indonesia tidak pernah terlepas dari tarik-menarik antara dua kutub yang seringkali bertentangan: kebebasan pers dan regulasi pemerintah (Unde, 2020)
Sejak era reformasi dimulai pada tahun 1998, Indonesia mengalami lompatan besar dalam hal kebebasan pers. Pemerintah tidak lagi memegang kontrol ketat seperti pada masa Orde Baru, ketika media berada di bawah pengawasan Departemen Penerangan. Kini, media massa dapat beroperasi dengan lebih bebas, menyampaikan kritik terhadap pemerintah, membuka ruang diskusi publik, dan menjalankan fungsi kontrol sosial. Reformasi telah membuka jalan bagi tumbuhnya ribuan media, baik cetak, elektronik, maupun digital, yang berlomba-lomba memberikan informasi kepada masyarakat (Achmad, 2021)
Namun, kebebasan tersebut bukan tanpa tantangan. Dalam praktiknya, sistem komunikasi massa di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan, baik dari luar maupun dari dalam. Salah satu tantangan utama adalah regulasi pemerintah yang terkadang dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan pers. Meski konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, berbagai undang-undang seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), UU Penyiaran, serta RUU Penyiaran yang terus direvisi sering kali menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis dan pegiat media (Aki, 2020)
UU ITE, misalnya, menjadi alat yang sering digunakan untuk membungkam kritik. Banyak jurnalis, aktivis, dan warga biasa yang dipidana karena dianggap menyebarkan informasi yang “melanggar norma” atau “merusak nama baik”, padahal konteksnya adalah kritik terhadap kebijakan publik. Dalam hal ini, regulasi yang seharusnya melindungi kepentingan publik justru bisa menjadi senjata untuk membatasi ruang kebebasan berekspresi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sistem komunikasi massa telah mengalami kemajuan dari sisi kebebasan, masih terdapat celah bagi kekuasaan untuk menekan kebebasan tersebut melalui perangkat hukum (Pattiasina & Triadi, 2024)
Selain itu, intervensi pemerintah dalam dunia penyiaran juga masih terjadi. Beberapa kasus menunjukkan bagaimana media massa bisa kehilangan izin siaran atau ditekan karena pemberitaannya dianggap merugikan pihak berkuasa. Situasi ini diperparah dengan kepemilikan media yang terpusat pada segelintir konglomerat, banyak di antaranya memiliki afiliasi politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi media dan objektivitas informasi yang disampaikan kepada publik.
Namun, di sisi lain, regulasi tentu tetap dibutuhkan dalam sistem komunikasi massa. Tanpa regulasi, media bisa dengan mudah menjadi alat penyebar hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi yang merugikan masyarakat. Dalam konteks ini, regulasi seharusnya menjadi instrumen yang menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Pemerintah idealnya berperan sebagai pengatur, bukan pengontrol, yang memastikan bahwa media beroperasi secara etis, profesional, dan bertanggung jawab.
Di tengah tantangan ini, masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem komunikasi massa. Literasi media menjadi kunci untuk menghadapi banjir informasi yang tidak selalu akurat. Masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memilah dan menganalisis informasi secara kritis akan memperkuat sistem komunikasi yang sehat dan demokratis. Selain itu, masyarakat juga bisa menjadi penyeimbang antara media dan pemerintah, dengan terus mengawasi dan menyuarakan keberatan terhadap praktik-praktik yang membungkam kebebasan pers (Nadzirin & Nur, 2024)
Di era digital saat ini, peran media sosial sebagai bagian dari sistem komunikasi massa juga tidak bisa diabaikan. Platform digital membuka ruang baru bagi masyarakat untuk berbicara dan berbagi informasi. Namun, media sosial juga menjadi medan tempur baru bagi regulasi dan sensor. Pemerintah semakin aktif dalam mengawasi dan membatasi konten di internet dengan alasan keamanan nasional, namun seringkali tanpa transparansi yang memadai. Ini menambah kompleksitas dalam upaya menjaga kebebasan dan keterbukaan informasi (Syam, 2020)
Secara keseluruhan, sistem komunikasi massa di Indonesia berada dalam posisi yang dinamis. Di satu sisi, ada semangat reformasi dan demokratisasi yang mendorong kebebasan pers. Di sisi lain, ada kecenderungan kontrol dan regulasi yang ketat yang bisa mengancam kebebasan tersebut. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem yang adil, terbuka, dan bertanggung jawab—di mana media bisa bebas tetapi tidak semena-mena, dan pemerintah bisa mengatur tanpa membungkam.
Masa depan sistem komunikasi massa Indonesia sangat ditentukan oleh sinergi antara kebebasan dan regulasi yang seimbang. Ketika media, pemerintah, dan masyarakat sama-sama memahami peran dan batasannya, maka komunikasi massa tidak hanya menjadi alat penyebar informasi, tetapi juga fondasi kuat bagi pembangunan demokrasi yang berkelanjutan.
Penulis : Maulidya Eka Hariyadi
NBI : 1152400193
Dosen Pengampu : Drs. Widiyatmo Ekoputro, MA
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Universitas : Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
0 Komentar