Mediamassa.co.id – Pernyataan publik yang disampaikan oleh mantan pengurus Perkumpulan Trader Indonesia Bersatu (PTIB), Maru Nazara, kembali memicu kontroversi. Dalam wawancara yang tayang di salah satu media nasional, Maru menyebut bahwa seluruh aset PTIB telah berhasil dijual dan dibagikan secara proporsional kepada para korban, dan bahwa pembagian aset akan segera ditutup.
Pernyataan tersebut mendapat bantahan keras dari sejumlah korban dan dari Ketua sah PTIB, Leo Chandra.
“Faktanya, hingga hari ini, penjualan aset korban belum jelas. Kami bahkan menduga ada penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk mereka yang dulu menjabat dalam kepengurusan PTIB,” ujar Leo.
Menurut Leo, klaim yang disampaikan Maru tidak hanya keliru, tetapi berpotensi menjadi disinformasi publik yang merugikan banyak pihak. Ia juga menyatakan bahwa pernyataan seperti itu dapat menghambat proses hukum dan melemahkan semangat para korban dalam memperjuangkan keadilan.
Perubahan Kepengurusan PTIB Dinilai Sepihak
Di sisi lain, muncul juga dugaan perubahan struktur kepengurusan PTIB secara sepihak pada tanggal 12 April 2025. Pergantian ini disebut dilakukan tanpa sepengetahuan para korban yang tergabung dalam paguyuban dan tanpa proses musyawarah sebagaimana diatur dalam anggaran dasar organisasi.
Leo Chandra, yang sebelumnya ditetapkan sebagai Ketua PTIB melalui keputusan mayoritas suara korban, menyampaikan bahwa ia baru mengetahui adanya perubahan tersebut setelah fakta kepengurusan baru tersebar.
“Saya baru mengetahui bahwa pada tanggal 12 April 2025 telah dilakukan perubahan kepengurusan ke nama Maru Nazara dan pihak lain. Itu dilakukan tanpa rapat anggota dan tanpa pemberitahuan,” jelas Leo.
Tinjauan Hukum: Potensi Cacat Formil dan Unsur Pidana
Dari sisi hukum, pergantian kepengurusan organisasi harus dilakukan melalui mekanisme yang sah, seperti Rapat Umum Anggota atau Musyawarah Nasional. Jika mekanisme ini diabaikan, maka secara hukum perubahan tersebut bisa dinyatakan cacat formil dan batal demi hukum.
Lebih lanjut, apabila terdapat indikasi pemalsuan dokumen, manipulasi data, atau penyalahgunaan wewenang dalam proses tersebut, maka tindakan itu bisa masuk dalam ranah pidana. Berdasarkan KUHP, pelaku dapat dikenakan Pasal 263 tentang pemalsuan surat, serta Pasal 55 dan 56 apabila terbukti dilakukan bersama-sama.
Catatan Redaksi:
Mediamassa.co.id membuka ruang hak jawab kepada Maru Nazara dan pihak terkait jika ingin memberikan klarifikasi atau tanggapan atas artikel ini. Prinsip keberimbangan dan verifikasi adalah bagian dari komitmen kami terhadap Kode Etik Jurnalistik.
0 Komentar