Breaking News

Pewayangan: Dari Balai Desa ke Layar Digital, Masihkah Jadi Media Komunikasi Bangsa?


Mediamassa.co.id - Tahu nggak sih, jauh sebelum kita sibuk update status dan kirim postingan di media sosial, nenek moyang kita sudah punya "platform" komunikasi mereka sendiri—wayang! Yup, nggak cuma jadi tontonan seru buat begadang, wayang itu sebenernya media komunikasi super canggih pada zamannya.

Coba bayangin deh, dalang itu kayak influencer jaman dulu yang nyampaikan pesan-pesan penting lewat cerita dan karakter wayang. Dari mulai nilai-nilai kehidupan, nasihat bijak, sampai sindiran politik yang nusuk banget , semuanya dikemas dalam pertunjukan yang menghibur.

Keren kan? Wayang udah jadi "media sosial" versi klasik yang ngehubungin masyarakat dan nyebarin informasi jauh sebelum internet ada. Bahkan "engagement"-nya bisa bertahan sepanjang malam, nggak cuma beberapa detik scrolling!

Jadi, gimana kalau kita bahas lebih dalam tentang wayang sebagai sistem komunikasi Indonesia yang udah bertahan berabad-abad dan masih relevan sampai sekarang?

Wayang: "Media Sosial" Tempo Doeloe

Kalau dipikir-pikir, pertunjukan wayang itu mirip banget sama platform media sosial yang kita pakai sekarang. Coba kita bedah satu-satu:

1. Sang Dalang 

   Dalang itu bukan cuma megang wayang doang. Dia itu pusat dari seluruh pertunjukan, mirip banget sama influencer atau content creator zaman now. Dalang harus kreatif, punya ciri khas, dan bisa "memegang" audiens berjam-jam. Kemampuan dalang mengubah suara, bikin candaan spontan, atau komentar tentang isu-isu terkini itu mirip sama YouTuber yang bisa bikin konten menarik dan relatable.

2. Konten yang Paripurna

   Pertunjukan wayang tuh lengkap banget isinya! Ada drama (konflik antar tokoh), komedi (adegan punakawan), musik (gamelan), visual (wayang), sampe edukasi (pesan moral). Ini kayak kita buka TikTok, YouTube, Spotify, Instagram, sama baca artikel Medium dalam waktu bersamaan. All in one gitu! 

3. Live Interaction yang Asli

   Jauh sebelum fitur "live comment" di Instagram, penonton wayang udah bisa berinteraksi langsung sama si dalang. Penonton bisa nyeletuk, ketawa, atau bahkan kasih request. Terus si dalang bisa langsung nanggapin. Gak jarang dalang sering nimpalin candaan atau bahkan nyindir penonton yang ketiduran atau berisik. Ini mirip banget sama streamer yang bales komentar live viewernya.

4. Viral Sebelum Ada Istilah Viral

   Dalang yang jago tuh namanya bisa nyebar kemana-mana tanpa bantuan internet. Orang-orang rela dateng dari desa sebelah cuma buat nonton pertunjukan dalang favorit mereka. Ini sebenernya konsep "viral" dalam bentuk paling tradisional, sebelum ada hashtag, algoritma, atau tombol share.

5. Trending Topic ala Wayang

   Cerita atau adegan seru dari pertunjukan wayang sering jadi bahan obrolan warga desa berhari-hari setelah pertunjukan, mirip banget sama trending topic yang dibahas netizen di Twitter. Bahkan, dalang-dalang  jago banget nyisipkan sindiran politik atau isu sosial yang lagi hot, sama kayak meme atau konten satir di media sosial sekarang.

6. Feedback Loop yang Lancar

Dalang biasanya bisa langsung paham sama reaksi penonton kayak pada ketawa gak, ngantuk gak, paham gak. Dari situ dia bisa nyesuain performanya sesuai mood penonton. Kalau penonton mulai bosen, dia bisa langsung ganti gaya atau cerita yang lebih seru. Ini sama banget kayak para content creator yang selalu mantau engagement, like, share, comment buat nentuin konten selanjutnya. Mereka juga harus jeli baca tren dan selera audiens. Kalau kontennya gak dapet respon bagus, langsung deh mereka mikir strategi baru. Ujung-ujungnya sih sama-sama pengen bikin penonton atau followers betah dan balik lagi.

7. Sense of Community yang Kuat

   Pertunjukan wayang biasanya jadi ajang kumpul warga, dari anak-anak sampe lansia. Mereka nonton bareng, ngobrol bareng, makan bareng. Ini mirip banget sama komunitas online yang terbentuk di platform seperti Discord atau grup Facebook, dimana orang-orang dengan minat yang sama bisa ketemu dan berinteraksi.

Nah, yang lebih keren lagi, wayang itu sebenernya udah praktekin konsep "engagement" jauh sebelum istilah itu ngetren di dunia marketing digital. Dalang yang bener-bener jago tuh bisa bikin penonton stay dari malem sampe pagi buta, bahkan sambil hujan-hujanan! Coba bayangin, itu retensi audiens yang gak main-main kan? Bahkan platform digital paling adiktif juga belum tentu bisa bikin user stay selama itu.

Jadi, kalau kamu pikir media sosial dan konsep berbagi cerita itu hal baru, think again! Nenek moyang kita udah nge-hack sistem komunikasi interaktif ini ratusan tahun lalu lewat pertunjukan wayang. Keren gak tuh?

Dari Balai Desa Nyasar ke Dunia Digital

Kini, pertunjukan wayang nggak cuma manggung di balai desa. Dalang seperti (alm.) Ki Seno Nugroho dan Ki Bayu Aji sudah merambah ke YouTube, bahkan membuat versi animasi dengan sentuhan humor modern. Beberapa video pewayangan di YouTube, seperti yang dibawakan oleh (alm.) Ki Seno Nugroho, tercatat telah ditonton lebih dari 2 juta kali. Ini bukti bahwa pewayangan masih punya audiens besar di era digital.

Tapi, pindah ke dunia digital juga punya tantangan sendiri:

- Suasana nongkrong bareng sampai pagi udah gak ada lagi.

- Komentar di YouTube gak bisa ngalahin spontanitas reaksi penonton langsung.

- Kadang kontennya dibikin clickbait, seperti "PETRUK AMPUH BOLODEWO TUNDUK!”

Apakah ini salah? Enggak juga. Namanya juga adaptasi. Yang penting, jangan sampai demi views, nilai-nilai luhur hilang di tengah scroll-scroll tak berujung.

Wayang di Era Digital, Masih Kekinian Gak Sih?

Jawabannya masih banget! Tapi perlu upgrade. Generasi sekarang lebih gampang nyambung kalau disuguhin konten yang relate, singkat, dan visualnya keren. Bayangin kalau ada konten wayang yang dikemas kayak video cinematic, dengan subtitle kekinian dan alur yang padat. Bisa banget viral! 

Beberapa grup wayang udah mulai adaptasi ke platform digital. Ada yang bikin konten YouTube dengan editing keren, ada juga yang masuk ke TikTok dengan potongan adegan seru yang dibumbuin musik hits. Yang penting, gimana caranya bikin generasi penerus bisa penasaran sama cerita dan karakter wayang. Tapi, hati-hati juga. Jangan sampe wayang cuma jadi tempelan budaya yang sekadar "eksotik" tapi gak dipahami. Kita perlu ngehidupin nilai, kritik, dan kearifan lokalnya.

Melalui pewayangan, kita bisa belajar bahwa komunikasi itu bukan sekadar urusan teknologi atau seberapa canggih alat yang digunakan. Lebih dari itu, komunikasi menyangkut makna, kedekatan emosional, dan nilai budaya yang menyatukan.

Di tengah dunia digital yang makin ramai dan terpecah karena algoritma dan “filter bubble”, pewayangan hadir sebagai pengingat penting. Bahwa komunikasi yang baik seharusnya mampu menyatukan, membangun empati, dan membawa pesan yang berdampak bukan cuma sekadar konten viral atau hiburan sesaat.

Wayang masih punya tempat yang sangat penting dalam sistem komunikasi masyarakat Indonesia. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana caranya mengemas kembali kearifan lokal ini agar tetap relevan di era digital. Bukan dengan mengubah isinya, tapi dengan mencari cara penyampaian yang lebih sesuai dengan zaman tanpa menghilangkan esensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dengan pendekatan yang tepat, wayang bisa terus hidup dan berkembang, bukan hanya sebagai hiburan tradisional, tapi juga sebagai media edukasi, refleksi sosial, dan bahkan inspirasi di tengah derasnya arus informasi modern.


Ditulis oleh: Dea Ayu Setiyowati

NBI: 1152400175

Prodi: Ilmu Komunikasi

Fakultas: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen Pengampu: Drs. Widiyatmo Ekoputro, MA

0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2025 - mediamassa.co.id
Sawah